a.t.o.m.

masih belum aseli 100% INDONESIA

Buku ini karya Bapatuaku (alm) Ir. W. Hasugian, dibuat supaya kami penerus marga Hasugian tahu sejarah dan asal-usulnya..

SEJARAH

“RAJA TUNGGAL-HASUGIAN”

BERSAMA ISTERINYA BORU

SUMANGGE br. NAINGGOLAN

PENYUSUN

Ir. WALDUIN HASUGIAN

UNTUK KALANGAN SENDIRI

KATA PENGANTAR

Sekalipun Sejarah "Raja Tunggal — Hasugian" bersama isterinya Boru Sumangge br. Nainggolan disusun secara ringkas dan diterbitkan baru untuk pertama kalinya. Namun buku sejarah "Raja Tunggal — Ha-sugian" ini setidaknya dapat memberikan gambaran bagaimana perjuangan Raja Tunggal bersama adiknya Orang Kaya Tua disamping tidak kalahnya perjuangan dan Boru Sumangge br. Nainggolan.

Dengan terbitnya buku sejarah ini, penyusun tidak bermaksud untuk membongkar masa lalu secara negatip, tetapi semata-mata hanya untuk mendorong keturunan Raja Tunggal — Hasugian khususnya, para pembaca pada umumnya agar dapat meneladani hasil perjuangannya maupun tingkah lakunya yang sangat baik sebagai seorang Patriot, juga agar keturunan Raja Tunggal - Hasugian maupun pembaca lainnya dapat mengetahui dengan jelas Silsilah Raja Tunggal - Hasugian serta bagaimana sejarah perjuangan Raja Tunggal — Hasugian sejak ± 400 tahun yang lalu hingga sampai terlaksananya Pemugaran Makam dan Sopo Raja Tunggal — Hasugian di Huta — Batu.

Penyusun menyadari bahwa buku ini belum se-sempurna mungkin untuk itu, kami mengharapkan dan Pengetuai/Partaki keturunan Sigodang Ulu — Sihotang maupun dan segala pihak untuk memberikan masukan berupa saran maupun koreksi bagi penyempurnaan buku ini. Kepada semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut membantu penyelesaian buku ini, penyusun mengucapkan banyak terima kasih. Semoga buku sejarah ini bermanfaat bagi kita semua sebagai sumbangan untuk mengembangkan daerah Huta — Batu dihari mendatang, serta untuk mempertebal rasa kekeluargaan kita.

Medan, 1 Juli 1988

Penyusun,

( lr. Walduin Hasugian )

BAB I

PEN DA H ULUAN

1. Buku Sejarah "Raja Tunggal-Hasugian" disusun sejak tahun 1987 dan diterbitkan pada tahun 1988, namun masih ada kekurangan yang perlu mendapat penelitian lebih lanjut untuk perbaikan dihari mendatang.

2. Buku sejarah ini diterbitkan bukan hanya untuk mengetahui dan mengenal Raja Tunggal — Hasugian akan tetapi untuk mengembangkan nilai-nilai dari perjalanan sejarah serta tingkah laku Raja Tunggal sendiri yang sangat berguna bagi keturunan Raja Tunggal-Hasugian sebagai pedoman penghayatan berkeluarga.

3. Bahan-bahan yang dipergunakan untuk menyusun buku sejarah Raja Tunggal - Hasugian diperoleh dari Bapak-bapak : Gr. S. Hasugian SH, Gr. A. Hasugian, Geser Hasugian, Paduma Hasugian serta Tokoh-tokoh dan Partaki keturunan Raja Tunggal-Hasugian.

4. Secara keseluruhan buku sejarah ini terdiri dari 9 (sembilan) Bab yang masing-masing terdiri dari :

Bab II : Silsilah Raja Tunggal.

Bab III : Raja Tunggal berada ditengah-tengah keluarga Sigodang Ulu — Sihotang.

Bab IV : Raja Tunggal meninggalkan Tano Sihotang.

Bab V : Perkawinan Raja Tunggal dengan Boru Sumangge br. Nainggolan.

Bab VI : RajaTunggal memiliki tanah.(Tano Pauseang).

Bab VII : Raja Tunggal mendatangkan keluarga Sigodang Ulu-Sihotang dan Tano Sihotang.

Bab VIII : Pemugaran Makam dan Sopo Raja Tunggal — Hasugian di Huta- Batu

Bab IX : Penutup

BAB II

SILSILAH RAJA TUNGGAL

1. Untuk dapat mengenal Raja Tunggal maka perlu dibuat secara terperinci silsilah Raja Tunggal agar identitasnya jelas. Akan tetapi silsilah itu kita mulai dari Si Raja Oloan.

2. Si Raja Oloan ialah ayah bersama dari Siganjang Ulu (Naibaho), Sigodang Ulu (Sihotang), Bakkara, Sinambela, Sihite dan Manullang. Sedang ibu yang melahirkan Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite dan Manullang ialah boru Limbong dan boru Pasaribu.

3. Dua orang anak Si Raja Oloan mempunyai bentuk kepala yang ganjil yakni : anak pertama bernama : Siganjang Ulu dimana bentuk kepalanya benjol agak memanjang tidak seperti kepala manusia biasa, sedang anak yang kedua bernama: Sigodang Ulu, dimana bentuk kepalanya banyak benjol-benjol (Marbuntul-buntul do uluna ndang lemes songon ulu ni jolma nasomal).

4. Si Raja Oloan merasa malu bilamana kedua anaknya yang ganjil bentuk kepalanya hadir pada pesta yang akan diadakannya. Oleh karena itu Si Raja Oloan mengambil suatu inisiatip yakni dengan menyuruh kedua anaknya itu pergi kehutan mencari "hau borotan dan rotan untuk dipergunakan dipesta yang akan diadakan nanti", karena hau borotan itu sangat diperlukan.

Kedua anaknya itupun pergi tanpa curiga akan maksud ayahnya. Setelah kedua anaknya itu pergi kehutan lalu ayahnya mengadakan pesta tanpa menunggu kehadiran kedua anaknya itu dari hutan. Hanya anaknya yang empat lagi yaitu : Bakkara, Sinambela, Sihite dan Manullang hadir dipesta itu.

Waktu Siganjang Ulu dan Sigodang Ulu pulang dan hutan membawa hau borotan dan rotan mereka terkejut melihat keadaan di rumah dimana masih banyak daun-daunan berserakan dihalaman rumah itu menandakan baru selesai melaksanakan pesta tanpa setahu mereka berdua. Sejak peristiwa itulah kedua anaknya itu tidak betah tinggal bersama orangtuanya Si Raja Oloan di Bakkara serta merencanakan pergi meninggalkan tempat kelahirannya dan keluarganya.

5. Kepergian Siganjang Ulu dan Sigodang Ulu membawa sejarah tersendiri dimana : Siganjang Ulu pergi kesuatu tempat dikaki Bukit Pusuk Buhit sehingga namanya menjadi : "Naibaho" berasal dari kata Udan Baho = ambolas yakni ketika Siganjang Ulu kawin dan anaknya lahir tepat pada waktu hujan baho = ambolas sehingga diberi nama: "Naibaho"

Sigodang Ulu pergi ke tempat lain dimana tempat itu berada yang berbatasan kesebelah Utara dengan Danau Toba, ke sebelah Selatan dengan Hutan yang banyak ditumbuhi rotan, ke sebelah Timur dengan Tanah Tamba dan ke sebelah Barat dengan Tanah Harian Boho dan tempat ini disebut : Tano Sihotang berhubung ditempat ini banyak rotan (Rotan : Hotang).

Setelah Sigodang Ulu kawin dan memakai marga Sihotang. Sehingga Sigodang Ulu disebut Sigodang Ulu-Sihotang.

6. Yang pertama dikawini Sigodang Ulu ialah boru Tamba. Setelah boru Tamba meninggal, kawin pulalah Sigodang Ulu dengan boru Simbolon. Oleh karena itu boru Simbolon adalah istri pengganti dari boru Tamba. Jelaslah, istri yang kedua ini bukan dimadu.

7. Hasil perkawinan Sigodang Ulu dengan boru Tamba dan boru Simbolon adalah : 7 (tujuh) anak laki-laki bernama :

- Pardabuan

- Sorganimusu

- Torbandolok

- Randos

- Marsoit

- Raja Tunggal

- Orang Kaya Tua:

dan anak perempuan bernama : Sobosihon.

Sobosihon yang kawin dengan Raja Marsundung.Perkawinan Raja. Marsundung Simanjuntak dengan Sobosihon adalah istri pengganti Boru Hasibuan yang meninggal. Hasil perkawinan Sobosihon dengan Raja Marsundung mempunyai tiga orang anak bernama : Mardaup, Sitombuk dan Huta Bulu yang disebut Simanjuntak Si Tolu Sada Ina.

8. Dengan demikian Raja Tunggal adalah anak yang ke-enam dari Sigodang Ulu - Sohotang. Dimana Raja Tunggal bersama adiknya Orang Kaya Tua anak yang ke-tujuh, yang membawakan marga Hasugian. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam bab berikut

BAB III

RAJA TUNGGAL BERADA DITENGAH-TENGAH

KELUARGA SIGODANG ULU SIHOTANG

1. Sebagaimana diuraikan dalam Bab II bahwa anak laki-laki Sigodang Ulu—Sihotang sebanyak : 7 (tujuh) orang. Pada waktu itu anak yang paling besar dan dapat bekerja kehutan adalah : anak pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima sehingga mereka berlima sehari-hari bekerja bertani dan mencari rotan kehutan sedang anak yang dua orang lagi yakni : anak keenam dan anak ketujuh tinggal dirumah, oleh karena merasa belum mampu melakukan pekerjaan seperti pekerjaan yang dilakukan abangnya yang lima orang itu.

2. Dengan demikian anaknya yang lima orang itulah setiap hari bekerja keras untuk mencari nafkah mereka. Namun pada waktu makan selalu kepada anak yang dua orang itu diberikan makanan yang paling banyak pada hal anak yang lima orang itulah yang setiap hari bekerja keras mencari nafkah mereka, dan hal ini tidak wajar dihati dan pikiran anak yang lima orang itu.

3. Oleh karena Raja Tunggal dan adiknya tinggal dirumah, maka kesempatan ini dipergunakan Sigodang Ulu—Sihotang (Ayahnya) mengajar anaknya yang dua orang itu ilmu tradisional (Hadatuon) dan ilmu alat perang yakni : ULTOP dan TALI SOLANG yang lama kelamaan ilmu ini menjadi tertarik bagi Raja Tunggal sendiri.

4. Oleh karena Raja Tunggal sudah tertarik dan dipengaruhi akan ilmu tradisional (Hadatuon), ULTOP dan TALI SOLANG sehingga dia bersama adiknya tidak mau membantu abangnya bekerja. Sedang pada waktu makan selalu mereka berdua lebih banyak mendapat makanan (nasi) daripada abangnya yang lima orang itu. Ketika mereka tidak sama-sama makan selalu kepada anak yang lima orang itu ditinggalkan makanan lebih sedikit bila dibandingkan dengan bagian anak yang dua orang itu dan hal ini dibenarkan oleh ibu mereka yakni boru Simbolon yang lama kelamaan anaknya yang lima orang itu menjadi benci terhadap adiknya yang dua orang itu.

5. Setelah Sigodang Ulu-Sihotang (Ayahnya) meninggal maka kebencian yang selama ini masih terpendam dihati yang lima orang itu terhadap adiknya dan lbunya boru Simbolon menjadi kenyataan, dimana mereka mencari alasan yang tepat agar adiknya itu dapat dipukul dan bila perlu dibunuh, hal ini kelihatan ketika adiknya Raja Tunggal selesai makan dan turun ke halaman rumah kemudian memotong sedikit ujung rotan yang kebetulan baru selesai dikumpul abangnya itu yang dipergunakan Raja Tunggal untuk menjungkit sisa makanan digiginya, lalu melihat keadaan itu Randos marah dan langsung memukul serta mengancam untuk dibunuh dan berkata : Kami telah bersusah payah mencari rotan tersebut dari hutan sedang engkau enak-enak memotong. Akan tetapi Raja Tunggal tidak mau melawan abangnya itu karena dia sadar akan aturan berabang adik walaupun sebenarnya dia dapat melawan abangnya itu karena dia mempunyai ilmu, akan tetapi ilmu yang dipelajarinya itu tidak banggakannya. Begitu abangnya itu memarahi 'Raja Tunggal selalu tidak melawan dalam bentuk apapun.

6. Oleh karena ancaman dari abangnya itu dan dirasa mereka tidak aman lagi berkumpul dengan abangnya maka Raja Tunggal merencanakan akan lari meninggalkan Tanah Sihotang. Dari keadaan inilah kata : HASUGIAN berasal dari kata : Sugi (benci = Sogo) atau HASOGOAN dimana abangnya yang lima orang itu telah membenci Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua. Oleh sebab itu lama kelamaan marga Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua. memakai marga HASUGIAN.

BAB IV

RAJA TUNGGAL MENINGGALKAN TANO SIHOTANG

1. Oleh karena kesatuan dan kedamaian dalam keluarga Sigodang Ulu-Sihotang tidak ada lagi disebabkan kemarahan, kebencian yang berlanjut terus dan abang-abangnya terhadap adiknya Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua tidak dapat dihilangkan begitu saja maupun, ancaman untuk dibunuh juga tidak akan dapat dihindari.

Hal ini membuat Raja Tunggal termenung memikirkan hari depan keluarga itu sendiri serta berusaha menghindari dari malapetaka yang bakal terjadi nanti. Kadang-kadang Raja Tunggal berpikir apakah dengan melawan abang-abangnya yang mengancam itu merupakan jalan yang baik, karena dia sendiri akan mampu melawan mengingat ilmu yang dimilikinya. Namun dia bimbang memilih cara tersebut. Akhirnya Raja Tunggal membuat rencana yang terbaik yaitu pergi meninggalkan keluarga bukan melawan walaupun dalam keadaan bersedih.

2. Rencana kepergiannya meninggalkan keluarga disampaikan Raja Tunggal kepada ibunya boru Simbolon pada saat abangnya berada dihutan mencari rotan. Mendengar ucapan anaknya itu Ibunya boru Simbolon dengan tegas mengatakan : Jika engkau pergi meninggalkan kami maka saya bersama adikmu Orang Kaya Tua ikut bersama-sama kemana engkau pergi, karena saya sendiripun turut dimarahi dan dibenci oleh abang-abangmu selama ini dimana saya dituduh pilih kasih terhadap engkau dan adikmu, padahal saya tidak ada pilih kasih diantara semua anakku.

3. Akhirnya mereka bertiga terpaksa berangkat malam meninggalkan kampung halaman dan keluarga dibarengi dengan rasa pilu dan bersedih menuju tujuan yang belum diketahui mereka melalui hutan belantara yang arahnya tidak diketahui. Demikianlah mereka dihutan itu berlindung sambil mencari makanan seadanya untuk menyelamatkan hidup mereka sehari-hari. Kepergian mereka hanya membawa ilmu tradisional yang dimiliki Raja Tunggal yakni : Ultop dan Tali Solang yang dipergunakan mereka sebagai alat untuk mencari binatang-binatang yang dapat dimakan selama dihutan itu.

"Ultop" : digunakan untuk melawan musuh dan menangkap binatang ganas, binatang buruan karena sedikit saja kena alat ini langsung mati.

"Tali Solang" : digunakan melumpuhkan manusia ataupun binatang, bila bekas pijakan baru dipukul dengan Tali Solang dan yang empunya bekas pijakan baru tadi langsung jatuh dan pingsan tidak dapat berjalan lagi. Jadi kalau seekor binatang baru lewat dimana bekas pijakan binatang tersebut dipukul dengan Tali Solang maka binatang itupun pingsan dan lumpuh.

Disamping Ultop dan Tali Solang Raja Tunggal juga memiliki ilmu menerbangkan alu (Ilmu—Pahabangkon Losung), ilmu industri kecil yakni pembuatan meriam, sinapan batak.

Catatan : Masih ada bekas meriam yang dibuat Raja Tunggal dan diserahkan kepada keturunannya. Kemudian keturunannya ini membawa ke Aceh Selatan dan ditempat inilah alat ini berada sampai sekarang.

4. Selama mereka tinggal dihutan belantara itu hanya makan daging dan ikan yang diperolehnya dengan mempergunakan Ultop, tali Solang dan mengail disungai. Karena sudah begitu lama mereka tinggal dihutan dan tidak pernah bertemu manusia serta pakian yang mereka bawa sudah mulai koyak-koyak. Akhirnya mereka pergi menyelusuri hutan-hutan tersebut mencari dimana dekat kampung dengan cara memanjat pohon kayu agar bisa kelihatan dimana ada asap atau kampung namun mereka tidak berhasil.

Kemudian mereka berjalan menyelusuri hutan dan sungai sampailah mereka kesuatu tempat (Tempat ini disebut Dolok) Martippus sampai sekarang) dan ditempat inilah mereka tinggal beberapa hari lamanya karena sudah lelah dan ibunya boru simbolon dalam keadaan sakit.

Melihat keadaan ibunya sudah sakit, Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua jadi bertambah susah untuk memikirkan pengobatan ibunya itu. Dengan bersusah payah mereka berdua mengobati ibunya boru Simbolon yang kesudahannya tidak berhasil dan akhirnya ibunya boru Simbolon meninggal ditempat itu. Mereka berduapun meraung-raung dihadapan mayat ibunya itu dan tidak tahu kepada siapa mereka meminta bantuan. Dengan kesepakatan mereka berdua maka ibunya yang telah meninggal dikubur ditempat itu.

5. Setelah beberapa hari mereka berdua berkabung ditempat itu, direncanakanlah pergi meninggalkan makam ibunya boru Simbolon ketempat dimana ada asap dan kampung. Pagi-paginya mereka berdua berangkat meninggalkan makam ibunya boru Simbolon dan terus berjalan menyelusuri hutan dan sungai akan tetapi sorenya kembali ketempat makam ibunya itu tanpa disadari mereka. Demikianlah mereka lakukan berulang-ulang setiap mereka berangkat menmggalkan makam ibunya selalu kembali ketempat makam ibunya sehingga membingungkan mereka berdua, kenapa selalu kembali ketempat makam ibu tercinta ini ?

6. Pada suatu ketika dimana mereka duduk termenung memikirkan peristiwa itu, tiba-tiba datanglah burung Elang yang bertengger dekat mereka berdua dan bersuara : Huliss' Huliss' Huliss' Bila kalian berdua tidak ingin bolak-balik ketempat ini jangan tinggalkan ibumu.

Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua pun dengan tekun mengikuti dan mengartikan suara burung Elang itu dan bertanya. Bagaimana cara yang kami perbuat ? Burung Elang menyahut - "Bakar mayat ibumu lalu abunya bungkus serta bawa kemana kalian pergi. Dengan demikian ibumu tetap ikut bersama kalian.

Dan akhirnya Raja Tunggal bersama adiknya melaksanakan apa yang disuarakan Burung Elang itu. Sejak dari situlah maka tempat makam ibunya boru Simbolon disebut Dolok Martippus dan sampai sekarang masih ada.

Begitu Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua selesai melaksanakan apa yang telah disuarakan burung Elang itu merekapun berangkatlah dan membawa abu mayat ibunya boru Simbolon yang telah dibungkus. Ternyata muluslah perjalanan mereka dan tidak kembali lagi ketempat makam ibunya itu, seperti sebelum dilaksanakan apa yang disuarakan Burung Elang tadi.

7. Setelah beberapa lama mereka meninggalkan Dolok Martippus mencari dimana ada asap dan kampung maka tiba-tiba dari jauh mereka melihat ada asap dan ladang serta pondok. (Tempat ini disebut Dolok So Maila sampai sekarang). Melihat keadaan itu mereka berduapun bergembira disamping bertanya siapa yang berada dipondok itu ? Sedang mereka berdua tidak berbusana lagi.

8. Dengan bergembira mereka mempercepat langkah agar cepat sampai ditempat tersebut. Setelah Matahari terbenam mereka berdua tiba diladang tersebut dan dimana yang menjaga ladang itu kebetulan telah pulang ke kampungnya. Ternyata diladang itu ada jagung yang kemudian diambil mereka berdua dan dibawa kepondok yang masih ada api dan mereka bakar lalu dimakan dengan lahapnya, maklum sudah bertahun-tahun mereka tidak pernah makan apa-apa selain daging, ikan dan daun-daunan dihutan dan gunung yang mereka lalui selama ini. Dipondok inilah mereka tidur dengan pulas dan paginya mereka pergi kehutan meninggalkan tempat itu serta membawa jagung untuk bahan makanan mereka. Hal ini mereka lakukan karena mereka tidak berbusana lagi dimana mereka malu kalau bertemu dengan sipemilik lading itu dan mencari jalan bagaimana caranya mereka berdua dapat berkomunikasi dengan simpemilik ladang itu. Rupanya sipemilik ladang itu ialah : Datu Parulas Nainggolan dan yang setiap hari menjaga ladang itu ialah putri satu-satunya yang bernama : Boru Sumangge. Tiap pagi sampai sore Boru Sumangge berada di ladang itu untuk menjaga ladang tersebut. Waktu Boru Sumangge melihat keadaan di pondok itu dimana banyak kulit jagung berserakan kemudian apipun masih hidup di pondok itu. Tercenganglah dia siapa gerangan yang datang ke pondok dan yang mencuri jagung ini ? Lalu Boru Sumangge menyelidiki dikampungnya siapa yang tidak ada dirumah pada saat itu. Ternyata tidak ada seorangpun penduduk di kampung itu yang mencuri jagung serta menginap di pondok itu. Memang ada musuh Datu Parulas Nainggolan dan kampung Banuarea akan tetapi tidak mungkin dan Banuarea datang mencuri jagung dan lagi pula caranya agak berbeda dengan yang biasa.

9. Setelah Boru Sumangge pergi meninggalkan ladang itu lalu Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua pun masuk ke pondok, yang ada di ladang itu, dan paginya mereka berdua pergi ke hutan mencari Rusa dan lkan. Pada suatu saat Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua mendapat binatang Rusa dan lkan yang besar dimana sebagian daging Rusa dan lkan tersebut digantungkan di pondok itu lalu mereka pergi meninggalkan pondok itu. Ketika Boru Sumangge tiba di pondok itu terkejut melihat daging Rusa dan lkan tergantung. Boru Sumangge selalu bertanya dalam dirinya siapa yang selalu menginap di pondok ini ? dan mereka rupanya bukan manusia sembarangan mengingat ; Mereka mengambil jagung akan tetapi mereka menggantungkan daging rusa yang besar serta ikan yang besar pula, tentu ini suatu hal yang aneh. Lalu Boru Sumangge membawa daging rusa dan ikan tersebut ke kampungnya sekaligus memberitahukan keadaan itu kepada ayahnya Datu Parulas. Kemudian ayah Boru Sumangge tercengang mendengar berita itu dan bertanya siapa itu orangnya ?

10. Untuk dapat segera mengetahui siapa yang selalu menginap di pondok itu maka Boru Sumangge mengambil suatu inisiatip yakni dengan mempercepat dari biasanya pergi ke ladang. Demikianlah pada suatu waktu Boru Sumangge mempercepat keberangkatannya ke ladang dan dengan langkah yang pelan-pelan berjalan menuju pondok itu. Begitu Boru Sumangge sampai di pondok itu terdengarlah suara orang dan dalam pondok itu. Lalu Boru Sumangge berseru : Siapa yang berada di pondok ini ? Terkejutlah Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua mendengar ada suara dan luar pondok itu, serta menjawab : Kami berdua di pondok ini akan tetapi kami tidak berbusana lagi sehingga kami malu menampakkan diri dan kalau bisa kami mohon diberi kain agar kami membuka pintu dan menampakkan diri. Mendengar suara itu Boru Sumangge melemparkan kain selendangnya dari jendela pondok itu, lalu Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua memakai kain selendang itu sehingga merekapun dapat bertatap muka dan bercerita lebih lanjut. Raja Tunggal menceritakan perjalanan dan kisah mereka kepada Boru Sumangge.

Mendengar kisah perjalanan mereka sejak berangkat hingga sampai di pondok itu serta pengalaman-pengalaman yang mereka alami bertahun-tahun. Boru Sumangge sangat tertarik akan cerita mereka berdua dan juga tertarik atas tutur kata yang sopan dan ramah disertai dengan bentuk badan yang tampan. Kemudian Boru Sumangge berkata kepada mereka berdua : Tunggulah saya dipondok ini, karena saya pulang sebentar ke rumah mengambil pakaian sekaligus melaporkan kepada ayah agar kita nanti sama-sama berangkat ke rumah kami yang tidak begitu jauh dari pondok ini.

Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua berjanji akan menunggu Boru Sumangge dipondok itu. Lalu boru Sumangge pun berangkat ke rumahnya serta membawa daging rusa dan ikan yang sebelumnya telah disediakan mereka berdua ketika mereka menginap dipondok itu. Melihat boru Sumangge datang belum pada waktunya, ayahnya heran dan bertanya, kenapa begitu cepat datang dan dari siapa daging serta ikan itu ? Apa yang terjadi ? Lalu Boru Sumangge menjawab Ayahnya : Saya telah bertemu dengan orang yang saya ceritakan beberapa waktu yang lalu dan yang selalu menggantungkan daging dan ikan dipondok kita itu. Hari inipun saya membawa daging dan ikan. Dan telah berjanji bahwa mereka menunggu saya untuk dibawai pakaian berhubung karena mereka tidak berbusana lagi. Kelihatannya mereka berdua baik-baik dan tampan kemudian dapat membantu kita nanti untuk melawan musuh kita dari Banuarea yang selama ini selalu mengancam keluarga kita. Mendengar laporan putrinya Boru Sumangge, ayahnya Datu Parulas memerintahkan putrinya agar cepat kembali ke pondoknya dengan membawa pakaian dan dapat dibawa segera kerumah.

11. Memang selama ini Datu Parulas yaitu ayah Boru Sumangge telah berjanji : Siapa yang dapat menaklukkan musuhnya dari Banuarea akan diangkat menjadi menantunya. Untuk inilah maka datu Parulas ayah dari Boru Sumangge bergembira sekiranya orang yang dilaporkan putrinya Boru Sumangge betul-betui dapat nanti menaklukkan musuhnya dari Banuarea. Begitu Boru Sumangge tiba dipondoknya itu terus menyerahkan pakaian yang di bawanya kepada Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua yang masih terus berada didalam pondok itu menunggu Boru Sumangge. Setelah Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua selesai berpakaian, merekapun sama-sama berangkat menuju rumah Datu Parulas. Kelihatannya mereka berdua sangat bergembira karena sudah dapat bertemu dengan manusia. Dimana beberapa tahun berkelana dihutan belantara tanpa melihat orang dan makanan. Kedatangan Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua disambut Datu Parulas dengan gembira dan terus bercerita tentang kisah perjalanan mereka. Kemudian Datu Parulas bertanya. Kalau begitu dari mana asal kalian berdua ? Lalu mereka jawab : Kami berasal dari Tano Sihotang ! Dan marga apa ? Jawab mereka : Marga kami berdua adalah marga "Sihotang Si Sugi roha ni dongan". (Sihotang yang selalu dibenci saudara). Setelah selesai mereka bercerita lalu merekapun makan bersama dibarengi dengan ketawa karena sama-sama bergembira.

BAB V

PERKAWINAN RAJA TUNGGAL DENGAN

BORU SUMANGGE BR. NAINGGOLAN

1. Datu Parulas Nainggolan merasa gembira dengan hadirnya Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua demikian juga mereka berdua sangat senang tinggal bersama keluarga Datu Parulas karena sudah lama mereka berkelana dihutan belantara tanpa melihat orang dan makanan. Setelah selesai mereka makan bersama sebagai pertanda menyambut tamu, Datu Parulas menanyakan mereka : Kelihatannya kalian seperti "Ulubalang" oleh karena itu kami mengharapkan dapat membantu kami melawan musuh kami selama ini dari Banuarea. Dan bila mana berhasil salah satu dari kalian berdua menjadi menantu saya. Mendengar ucapan Datu Parulas maka Raja Tunggal menjawab : Kami bukan "Ulubalang", kami adalah manusia biasa yang tidak tahu apa-apa akan tetapi kami berusaha membantu bapak sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami tanpa mengharapkan sesuatu, karena kewajiban kami menolong orang yang memang perlu ditolong sedaya mampu yang ada pada kami tanpa meminta imbalan apapun. Mendengar jawaban Raja Tunggal, maka Datu Parulas merasa senang sekali menerima jawaban tamunya itu. Dia tidak menyangka kalimat demikian muncul dari tamunya. Walaupun demikian jawaban tamunya itu, Datu Parulas yakin bahwa tamunya itu dapat membantunya serta mengalahkan musuhnya dari Banuarea.

2. Setelah Datu Parulas memberitahukan kepada Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua bahwa sudah dapat dilaksanakan perlawanan terhadap musuhnya dan Banuarea maka Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua mempersiapkan Ultop, Tali Solang dan llmu Pahabangkon Losung. Melihat persiapan Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua Datu Parulas Nainggolan terkejut disamping bergembira karena belum pernah melihat alat-alat tersebut serta yakin bahwa musuhnya akan kalah. Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua menjelaskan cara pemakaian dan akibatnya dan alat-alat tersebut kepada Datu Parulas. Tiba saat yang ditentukan maka Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua berangkat menuju tempat perang yaitu arah ke Banuaera dan disinilah dipergunakan Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua Ultop, Tali Solang, dan Pahabangkon Losung yang menyebabkan musuh Datu Parulas Nainggolan dari Banuarea lari terbirit-birit dan menyerah karena tidak mampu mereka melawan keunggulan Ultop, Tali Solang dan Pahabangkon Losung yang dipergunakan oleh Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua. Kemenangan Datu Parulas Nainggolan cukup tersebar di kampung itu dan membawa berita yang menggembirakan didaerah kerajaan Datu Parulas Nainggol karena selama ini musuh dari Banuarea datang mengancam keluarga Datu Parulas sekarang menyerah kalah.

3. Oleh karena kegembiraan yang dialami Datu Parulas berhubung karena sudah resmi menang melawan musuhnya dari Banuarea maka diadakanlah pesta besar sebagai pertanda menang serta mengucapkan terima kasih kepada Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua. Dan sesuai dengan janji Datu Parulas kepada Raja Tunggal di Orang Kaya Tua maka dipanggillah mereka berdua oleh Datu Parulas sambil menjelaskan bahwa anaknya perempuan hanya satu orang dan anak laki-laki tiga orang. Oleh sebab itu siapakah diantara kalian berdua yang menjadi menantu saya? Lalu Orang Kaya Tua menjawab : yang tertua diantara kami berdua adalah Raja Tunggal dan dialah yang pantas duluan kawin walaupun dalam hatinya tertarik kepada Boru Sumangge. Akan tetapi karena adat maka dia tidak pantas menantu Datu Parulas. Mendengar ucapan Orang Kaya Tua, Raja Tunggal selalu rendah hati mengatakan kepada adiknya agar dia saja menjadi menantu Datu Parulas serta mendesak duluan kawin, namun Orang Kaya Tua menolak serta mengatakan : Tidak baik aku duluan kawin dari engkau karena engkau yang tertua. Bagaimana aku duluan kawin sedang engkau adalah abangku ? Melihat perundingan Raja Tunggal dan Orang Kaya Tua, Datu Parulas Nainggolan setuju Raja Tunggal menjadi menantunya berhubung karena Datu Parulas mempunyai hanya satu orang putrinya, yaitu Boru Sumangge. Dengan demikian jadilah Datu Parulas memberkahi Putrinya Boru Sumangge dengan menantunya Raja Tunggal dalam pesta adat dan resmilah mereka direstui menjadi keluarga Datu Parulas.

Catatan :

1. Pada waktu diadakan pesta perkawinan Raja Tunggal dengan Boru Sumangge br. Nainggolan, "Ultop" dijadikan mahar perkawinan sehingga "Ultop" berada ditangan Datu Parulas sejak dari situ Datu Parulas disebut "Datu Parulas Parultop".

2. Tali Solang hilang secara gaib di Aek Gaman. waktu Orang Kaya Tua meletakkan diatas batu besar kemudian mereka mandi, lalu tali solang hilang secara gaib masuk kedalam batu besar tersebut dan sejak itu tempat hilangnya tali solang tersebut disebut Namo Pahat di Aek Gaman.

BAB VI

RAJA TUNGGAL MEMILIKI TANAH

(TANAH PAUSEANG)

1. Raja Tunggal dan Istrinya beserta adiknya sementara masih tinggal bersama Mertunya di Pusu.

Setelah beberapa bulan lamanya mereka tinggal bersama mertuanya di Pusuk, barulah Datu Parulas menyerahkan kepada menantunya itu sebidang tanah sebagai tempat tinggal mereka yaitu di Huta—Batu. Dimana tempat ini sangat baik untuk tempat tinggal dan berladang karena dari tempat ini kelihatan kampung Datu Parulas di Pusuk dan kampung Mertua Datu Parulas sendiri yaitu Tuan Nahodaraja Simbolon di Sionomhudon. (Datu Parulas Nainggolan kawin dengan putri Nahodaraja Simbolon bemama Bintang Maria br. Simbolon sedang anak laki-laki Tuan Nahodaraja Simbolon enam orang yakni : Tinambunan, Tumanggor, Mahari Turutan, Pinayungan dan Nahampun. Sedang Orang Kaya Tua kawin dengan cucu Tuan Nahodaraja yaitu Tagan Sombereng br. Tinambunan).

2. Setelah Raja Tunggal dan Istrinya beserta Adiknya tinggal di Huta—Batu datanglah saudara Boru Sumangge br. Nainggolan (lboto na Sitolu halaki) berkunjung dan kebetulan ada pohon jeruk yang sedang berbuah ditempat itu dan mereka panjat. Karena kegembiraan mereka bertiga memanjat pohon jeruk tersebut sehingga saudaranya yang tertua (lbotona na tertua) memanjat sampai kepuncak (Punsukna) dan dari sinilah diambil buahnya lalu diberikan kepada kakaknya Boru Sumangge. Dan saudaranya yang kedua memanjat hanya sampai ditengah dan langsung diambil (Buat on ma tu ahu) saja buahnya lalu diberikan kepada kakaknya Boru Sumangge. Sedang saudaranya yang ketiga tidak memanjat hanya dipangkal pohon jeruk tersebut menunggu pemberian mereka (Pangalean na, gabe taruli = Mahulae, Angkangna do naloja manjangkit hape ibana sandiri taruli). Dan dari kejadian ini maka nama sehari-hari, ketiga saudara Boru Sumangge atau anak laki-laki Datu Parulas bernama :'Pusuk, Buaton dan Mahulae.

3. Oleh karena tempat dan ladang yang diberikan Datu Parulas Nainggolan kepada menantunya hanya menempati dan mengusahai bukan milik mereka sehingga lama-lama Raja Tunggal merasa kurang puas dan masih berpikir kemasa depan. Dimana tempat dan lading yang menjadi milik tetap ? Untuk itu Raja Tunggal menyampaikan hasil pikirannya itu kepada istrinya bagaimana caranya supaya kita mempunyai tempat tinggal menetap dan memiliki tanah perladangan yang menetap. Lama mereka berdua memikirkan akan hal tersebut. Namun akhirnya Boru Sumangge mendapat pikiran yang baik dan disampaikan kepada suaminya sebagai berikut : Saya berpurak-purak meninggalkan engkau dan pergi kerumah ayah di Pusuk. Disana aku tinggal serta kukatakan bahwa aku tidak mau lagi bersamamu sehingga nanti Ayah menanyakan kenapa demikian ? Mendengar saran istrinya itu langsung Raja Tunggal setuju cara yang diajukan istrinya. Dan besoknya istrinya Boru Sumangge berangkat dari Huta—Batu menuju rumah orang tuanya Datu Parulas di Pusuk. Melihat putrinya datang, Datu Parulaspun bergembira karena sudah rindu, akan tetapi dia heran kenapa tidak ikut menantunya lalu ditanya : Kenapa tidak ikut suamimu ? Boru Sumangge menjawab : Saya takut bersuamikan Raja Tunggal karena dia dapat mematikan orang apalagi saya juga dapat dimatikan nanti dan lagi pula namanya : Raja tetapi miskin tidak punya apa-apa baik tanah, maupun perladangan. Oleh karena itu saya tidak mau lagi kembali. Mendengar kata-kata putrinya itu, Datu Parulas dan istrinya jadi susah memikirkan tingkah laku putrinya yang tidak mau lagi. Mereka memberi nasehat kepada putrinya agar kembali dan tidak baik meninggalkan suami dengan alasan tersebut.

Dia adalah orang baik dan bukan orang jahat, juga dia berjasa terhadap kita selama ini. Karena dia maka musuh kita kalah. Alangkah ruginya kita dan nama keluarga kita akan rusak bilamana engkau tidak kembali lagi. Akhirnya ibunya menanyakan dengan hati lembut apa sebenarnya keginan putrinya agar mau kembali kesuaminya : Putrinya menjawab : Suami saya disebut Raja akan tetapi tidak mempunyai apa-apa dimana saya malu oleh karena itu berikanlah kepada .kami pakaian yang tidak bisa habis (Pakaian naso olo buruk = Tano). Mendengar ucapan putrinya itu kedua orang tuanya menyatakan : Kalau hanya tanah yang engkau inginkan akan kami sanggupi nanti seberapa yang engkau butuhkan asalkan engkau mau kembali ke Suamimu. Mendengar ucapan Ayah dan Ibunya, putrinya menjawab : Baiklah akan tetapi saya harap Ayah dan lbu dapat mengantarkan saya ke Huta-Batu karena saya takut dimarahi nanti.

4. Merekapun sama-sama berangkat ke Huta—Batu. Begitu mereka tiba di Huta-Batu penyambutan Raja Tunggal terhadap mertuanya dan istrinya kurang simpatik. Hal tersebut disadari oleh Datu Parulas karena sudah lama menantunya ditinggalkan istrinya. Akan tetapi keadaan ini adalah merupakan sandiwara bagi Raja Tunggal dan Boru Sumangge agar rencana mereka berdua terpenuhi. Walaupun kelihatan Raja Tunggal kurang simpatik terhadap kedatangan mertunya dan istrinya namun mertuanya tetap dengan hati lembut menyampaikan kata-kata nasihat agar dengan kedatangan mereka bersama istrinya diterima dengan lapang dada.

Mengenai permintaan istrimu yaitu tanah, sekarang kita tentukan seberapa kalian butuhkan dan kapan penyerahan serta penetapan batas-batasnya. Mendengar ucapan mertuanya itu, Raja Tunggal dalam hatinya sudah bergembira sekali karena maksudnya terpenuhi. Lain ditetapkanlah hari dan tempat serta caranya namun Raja Tunggal berkata kepada mertuanya :

"Ala hamu do mata ni ari dohot mata mual di hami".

Hamuma didolok, Hami ma ditoruan ima pangidoan nami.

Dan mengenai luas tanah yang akan diberikan kepada kami :

- "Balga adat nahupasahat hami, Bidang ma tano lehonon muna dihami"

- "Gelleng adat nahupasahat hami Otik ma tano lehonon muna dihami"

- "Balga Horbo Silehonon nami Bidang do bobak na".

- "Gelleng Horbo Silehonon nami Otik do bobak na" Jadi nasa bobak ni Horbo Silehonon nami ima di hami tano i.

Mendengar ucapan menantunya, Datu Parulas menyetujuinya dan sekaligus berjanji mengadakan pesta serta dimana tempat pesta itu diadakan. Untuk itu diambil kesepakatan bersama yakni : Kapan senapan mereka berbunyi pada saat itulah mereka berangkat dan kemudian berjalan dan dimana mereka bertemu disitulah tempat pesta sekaligus batas tanah. Setelah selesai permufakatan mereka maka mertuanyapun berangkat ke Pusuk dan Boru Sumangge tinggal di Huta—Batu bersama suaminya dalam keadaan bergembira karena rencana mereka telah berhasil, hanya menunggu saat penyerahan saja.

5. Karena waktu pesta yang mereka tentukan telah tiba maka pagi- pagi benar Raja Tunggal dan istrinya dengan cepat berjalan menuju ke Pusuk tanpa membunyikan lebih dahulu senapan. Setelah separoh jalan senapannya dibunyikan. Dan mendengar bunyi senapan Raja Tunggal, mertuanyapun membunyikan senapan dan berangkat. Akan tetapi mertunya heran kenapa begitu cepat mereka bertemu padahal kalau diperhitungkan dari bunyi senapan mereka belum waktunya bertemu. Semua ini merupakan inisiatip Boru Sumangge namun demikian Datu Parulas tidak dapat berbuat apa-apa asalkan putrinya tidak meninggalkan suaminya.. Maka jadilah mereka bertemu di suatu tempat bernama : Sihulang-hulang (Asal kata = Andor hulang-hulang ni horbo) dan ditetempat inilah diadakan pesta dengan memotong kerbau sedang kulit kerbau yang di potong itu dibawa Boru Sumangge ke Huta-Batu untuk diiris halus-halus yang akan dipergunakannya menentukan batas-batas tanah yang akan diserahkan Datu Parulas. Tempat inilah satu-satunya batas tanah arah ke Pusuk dan disini ditanam pohon Raba-raba sebagai pertanda dan sekarang pohon tersebut telah mati disambar petir. Selesai pesta bersama yang dilaksanakan di Sihulang-hulang (Raba-raba) merekapun pulanglah ketempat masing-masing. Datu Parulas beserta keluarga kembali ke Pusuk dan Raja Tunggal beserta istrinya kembali ke Huta-Batu. Akan tetapi penentuan batas-batas tanah masih ditetapkan kemudian.

6. Setelah selesai diiris Boru Sumangge dan Raja Tunggal kulit kerbau tersebut lalu dihubungilah mertuanya ke Pusuk untuk memberitahukan hari penentuan batas-batas tanah yang akan diserahkan Datu Parulas kepada menantunya. Tiba hari penentuan batas-batas tanah tersebut Raja Tunggal dan istrinya berangkat dari Huta—Batu menuju tempat pesta yaitu Sihulang-hulang demikian juga Datu Parulas. Merekapun sama-sama menetapkan batas-batas tanah yang akan diserahkan kepada Menantunya/Putrinya. Dengan kepintaran Boru Sumangge mempergunakan irisan kulit kerbau tersebut yang dimulai dari tempat pesta (Sihulang-hulang) dan disini ditanam pohon Raba-raba sebagai batas ketanah Datu Parulas. Irisan kulit kerbau itu dibentangkan dari Sihulang-hulang memanjang ke Dolok Somalia terus ke Aek Simonggo — Onggol terus ke Dolok Napahorsik berbatas ketanah Marbun Sehun.

Dimana irisan kulit kerbau yang dibentangkan dengan begitu panjang yang menjangkau tempat-tempat tersebut sehingga diperoleh tanah yang begitu luas jika dibandingkan dengan luas tanah yang tinggal sebagai milik Datu Parulas.

Dari kejadian ini timbul perkataan dililiti yakni kulit kerbau yang diiris meliliti tempat-tempat sebagai batas tanah yang diserahkan, kemudian dari perkataan itu menjadi : PARLILITAN yang merupakan nama daerah yang dililiti kulit kerbau tadi.

Selesai penyerahan tanah tersebut Datu Parulas pulang ke Pusuk dengan agak malas karena dilihat dari cara putrinya mengukur tanah tersebut, sehingga lebih luas tanah tersebut milik menantunya/putrinya daripada mereka sendiri. Akan tetapi karena sudah permufakatan dan lagi pula takut nanti putrinya meninggalkan suaminya, Datu Parulas tidak dapat berbuat apa-apa terpaksa diterima dengan hati senang. Sedang Raja Tunggal dan Boru Sumangge br. Nainggolan pulang ke Huta—Batu dengan hati gembira karena sudah mempunyai tanah sebagai rnilik mereka dari pemberian mertuanya (Tano Pauseang).

7. Di Huta—Batu Raja Tunggal menanam pohon kayu yang disebut namanya Piangi. Keganjilan pohon tersebut setelah besar ialah : Pohon tersebut lurus berdiri dimana ada semacam tongkat dari cabang sampai ketanah, sedang daunnya selalu mengarah kesatu arah saja yaitu kearah kampung mertuanya di Pusuk. Dari situ jelas bahwa pohon tersebut merupakan pertanda : Raja Tunggal selalu hormat kepada mertuanya. Akan tetapi kira-kira tahun 1972, kayu tersebut dibakar oleh Ajar Sihotang dari Siringo-rirngo dimana dia mau memanfaatkan tanah disekitar kayu tersebut menjadi ladangnya. Namun belum sempat dipergunakannya, Ajar Sihotang meninggal setelah melalui sakit dipunggungnya. (Busuk jala gulohan holi-holi ni tanggurung na). Memang daerah tersebut tidak boleh diganggu apalagi dibakar sedang Ajar Sihotang tidak memperdulikannya.

8. Di Huta-Batu, Raja Tunggal mempunyai 4 (empat) orang anak laki-laki bernama : Raja Bukit, Tuan Pandak, Tupik Napunu dan Rancaran.

BAB VII

RAJA TUNGGAL MENDATANGKAN KELUARGA

SIGODANG ULU - SIHOTANG DARI TANO SIHOTANG

1. Setelah Raja Tunggal berkeluarga dan resmi memiliki tempat tinggal di Huta—Batu serta memiliki tanah perladangan yang luas pemberian mertuanya sebagai tanah pauseang, timbul pikirannya seperti seorang patriot yakni memikirkan keluarganya yang ada di Tano Sihotang tempat tumpah kelahirannya. Dia tidak mengingat peristiwa masa lampau sebelum berangkat meninggalkan asalnya. Akan tetapi memikirkan masa depan yang baru dan lebih baik. Oleh karena itu dia berkonsultasi dengan isterinya sebelum berangkat ke Tano Sihotang untuk mengajak keluarganya yang ada di Tano Sihotang serta mau mengunjungi mereka karena sudah beberapa tahun tidak pernah lagi berjumpa sejak ditinggalkannya. Hal tersebut disetujui oleh isterinya Boru Sumangge br. Nainggolan.

2. Dengan persetujuan bersama maka Raja Tunggal dan isterinya berangkat ke Tano Sihotang mengunjungi keluarga abangnya sendiri dan memberitahukan bahwa dia sudah berkeluarga serta memiliki tanah perladangan yang luas. Mereka ada beberapa hari di Tano Sihotang sambil melepas rindu, maklum sudah bertahun- tahun mereka berpisah baru bertemu kembali, disamping memperkenalkan isterinya kepada abangnya di Tano Sihotang juga mau membawa keluarga abangnya ke Parlilitan. Mula-mula Raja Tunggal membawa keluarga Marsoit kemudian Pardabuan, Sorganimusu dan Torban Dolok. Sedang keluarga Randos tidak mau diajak.

Sebelum penyerahan tanah kepada keluarga abangnya yang dari Tano Sihotang lebih dahulu diadakan musyawarah di mana bahwa tanah yang akan diserahkan tersebut hanya dapat ditempati, diusahai dan tidak boleh diperjual belikan atau dialihkan menjadi milik orang lain, serta bila ada pesta/horja diatas tanah tersebut harus menyerahkan adat tertentu kepada keturunan Datu Parulas, dan hal ini telah disepakati mereka.

3. Adapun tempat-tempat keluarga abangnya dari Tano Sihotang adalah sebagai berikut : si Marsoit ditetapkan disebelah Barat Dolok Saga yang disebut Lumban Simarsoit. Sedang Pardabuan, Sorganimusu dan Torbandolok sebelah Timur Huta-Batu sampai ke Raba-Raba. (Tempat Pesta penyeralian tanah yang disebut batasnya ke Pusuk atau Sihulang-hulang).

Tempat ini tanahnya agak datar, ada mata air dan baik untuk persawahan. Dan kalau kita lihat keadaan yang sebenarnya dimana tempat tinggal keturunan Raja Tunggal berada di tempat yang tidak rata dan tidak bisa persawahan karena tanahnya berbukit-bukit (rura do tano na tu pinompar ni si Raja Tunggal). Jadi sangat berbeda dengan keluarga abangnya dari Tano Sihotang.

Hal ini dapat kita lihat sendiri dimana keturunan Raja Tunggal mempunyai tempat sebagai berikut :

a. Raja Bukit sebagai anak pertama, keturunannya di Parlilitan sekarang yang tanahnya tidak rata mulai dari Barati sampai ke Pasar Parlilitan. Dimana tanah datar hampir tidak ada kalaupun ada sawah kelihatannya tidak luas karena tanahnnya berbukit-bukit (rura).

b. Tuan Pandak pergi merantau ke Tanah Karo/Aceh. Tentu kepergiannya pergiannya karena lokasi tanah perladangan untuk dia juga tidak seperti tanah perladangan keluarga abangnya dari Tano Sihotang.

c. Si Tupik Napunu : Tidak berketurunan.

d. Rancaran sebagai anak yang terkecil (Siampudan) keturunannya dekat Huta—Batu yang disebut Amborgang juga tanahnya tidak rata.

4. Dari sini jelas bahwa sifat dan tingkah laku Raja Tunggal terhadap abangnya dari Tano Sihotang tetap mengikuti adat istiadat dan tata krama antara adik dengan abang yang selalu menghormati yang lebih tua, tidak mementingkan sendiri dan tidak mau menyakiti serta tidak mau melawan abangnya, maupun membuat keru- suhan ditengah keluarga serta selalu mengalah.

BAB VIII

PEMUGARAN MAKAM DAN SOPO

RAJA TUNGGAL HASUGIAN Dl HUTA-BATU

1. Huta-Batu adalah nama tempat tinggal Raja Tunggal dan istrinya Boru Sumangge br. Nainggolan beserta adiknya Orang Kaya Tua. Daerah ini sangat baik dan indah yang dilengkapi mata air untuk minum dan permandian. Dari tempat ini kelihatan daerah Pusuk kampung mertuanya yaitu Datu Parulas Nainggolan dan kampung Sionomhudon yakni kampung mertua Datu Parulas. Tempat dibangun ± 400 tahun yang lalu oleh Raja Tunggal dan Istri setelah tempat itu sah secara adat diserahkan mertuanya.

2. Di Huta-Batu dikuburkan kembali abu ibunya br. Simbolon yang sejak Kerangkatkan mereka dari Tano Sihotang ikut dan meninggal di Dolok Martippus kemudian mayatnya dibakar dan abunya bungkus serta dibawa kemana mereka pergi hingga akilirna di kuburkan di Huta—Batu setelah tempat itu resmi menjadi tempat tinggal menetap.

3. Adiknya Orang Kaya Tua tidak lagi tinggal bersama mereka Huta-Batu disebabkan Raja Tunggal tidak menyetujui adiknya kawin dengan Tagan Sombereng br. Tinambunan. Dimana calon istri adiknya adalah cucu mertua Datu Parulas atau maen Datu Parulas Nainggolan sendiri yang menurut adat tidak baik namun adiknya tetap melaksanakannya dengan kawin lari. Sehingga mereka bertengkar yang akhirnya Orang Kaya Tua disuruh pindah ke Huta Tinggi yaitu suatu tempat yang agak jauh dari Huta- Batu arah ke Napohorsik. Kemudian tempat tinggal keturunan Orang Kaya Tua sering disebut : Santik mulduk-ulduk Gaman Nambadia, Onggol Napahorsik, Namogana Situmeang.

4. Setelah Raja Tunggal dan istrinya Boru Sumangge br. Nainggolan meninggal lalu dikubur oleh keluarganya berdekatan dengan kuburan ibunya br. Simbolon. Yang jaraknya ± 110 m arah Nariti atau sekitar ± 120 m dan rumahnya. Kuburan/Makam Raja Tunggal, Boru Sumangge br. Nainggolan dan Boru Simbolon dibuat dalam satu lokasi yang merupakan suatu unggukan tanah berbatu yang tinggi serta mempunyai pintu tiga dimana pintu tersebut dan batu yang berlapis besi. Sedang disekitar rumah mereka terdapat batu dan batu tersebut masih kelihatan bekas tempaan besi untuk alat-alat perang dan lainnya dan disinilah dibangun Sopo.

5. Sekitar tahun 1972 seorang bemama Ajar Sihotang membakar lokasi Huta—Batu untuk dibuat perladangannya sehingga sebuah pohon Piangi ikut musnah terbakar, sedang pohon ini adalah merupakan pertanda hormat kepada Hula-hula di Pusuk yang ganjil dan jarang dijumpai seperti bentuk pohon tersebut. Akan tetapi tidak beberapa lama Ajar Sihotang jatuh sakit dan meninggal.

Memang ada ketentuan bahwa lokasi tersebut tidak boleh diganggu apalagi dibakar.

6. Pada waktu pengaspalan jalan raya Sampean—Parlilitan ada tangan- tangan jahil yang merusak daerah Huta-Batu untuk mengambil batu dimana batu berlapis besi yang di makam Raja Tunggal ikut dipecahkan padahal batu tersebut adalah merupakan pintu penutup makam tersebut dan inilah yang dipugar kembali.

7. Mengingat akan kejadian tersebut dan lokasi Huta-Batu sangat berharga dimana dan lokasi inilah tersebar keturunan Raja Tunggal keseluruh penjuru dunia yang membawa marga Hasugjan dan mempunyai 16 generasi sampai sekarang maka tanggal 12 Mei 1980 diadakanlah Perletakan Batu Pertama Pemugaran Makam Raja Tunggal dan Boru Sumangge br. Namggolan serta br. Simbolon

Kemudian tanggal 27-28 Desember 1986 diadakan kembali rapat serta peninjauan bersama ke Huta—Batu dan diambil kesimpulan untuk memugar Makam dan membangun Sopo yang pelaksanaanya dimulai awal tahun 1987 dan selesai pertengahan Juni 1988.

8. Luas daerah Huta—Batu diperkirakan ± 10 Ha dimana seperti ini jarang dijumpai. Karena selain tempat sejarah asal marga Hasugian dan tempat Makam dan Sopo Raja Tunggal juga tempat ini dihari depan berkembang serta menjadi objek Wisata yang berkembang bila jalan raya antara Dolok Sanggul – Sampean-Parlilitan mantap.

Walaupun pada saat sekarang ini keturunan Raja Tunggal hanya memugar Makam dan membangun Sopo yang bentuknya sangat sederhana namun perkembangannya masih terbuka untuk kemjuan dihari yang akan datang. Jadi daerah Huta—Batu bukan hanya sebagai tempat Makam dan Sopo namun pemanfaatannya sangat luas serta membawa keuntungan yang sangat besar dihari akan datang.

BAB IX

PENUTUP

Dan uraian yang ada didalarn buku Sejarah "Raja Tunggal-Hasugian" yang diterbitkan ini masih belum memberikan gambaran yang memuaskan bagi sebagian pembaca dan keturunan Sigodang Ulu—Sihotang maupun keturunan Raja Tunggal Hasugian sendiri. Namun penyusun melihat keadaan yang terjadi sebenarnya yang dapat membuktikan betapa gigihnya perjuangan Raja Tunggal bersama adiknya Orang Kaya Tua demikian juga peranan Boru Sumangge br.Nainggolan.

Raja Tunggal bukan sebagai seorang pengemis ataupun pejuang gadungan akan tetapi jelas sebagai seorang patriot yang patut di teladani oleh siapa saja yang mengetahui sejarah kehidupannya maupun hasil perjuangannya. Memang kalau dilihat sepintas sejarahnya ada hal-hal yang tidak perlu diperhatikan karena nilainya sangat kecil sekali dan secara matematik harnpir nol bila dibandingkan dengan hasil perjuangannya serta tingkah lakunya maupun semangatnya. Penyusun mencoba mengungkapkan dalam bab penutup ini materi yang perlu dikembangkan dan diteladani antara lain :

1. Hasil perjuangannya sejak berangkat dan sampai di Huta-Batu.

a. Mereka berjuang dihutan belantara bertahun-tahun dengan membawa ibunya tanpa merugikan maupun mengganggu keluarga atau orang lain.

b. Mereka berjuang sebagai seorang pejuang yang benar bukan pengecut yaitu membantu orang lain yang dalam keadaan terancam bahaya tanpa meminta pembayaran lebih dahulu. Mereka berani berkorban untuk membantu orang dalam kesulitan.

c. Keberhasilan perjuangannya tidak dibanggakan untuk kepentingan sendiri. Akan tetapi keberhasilannya diberikan kepada yang membutuhkannya walaupun yang membutuhkannya itu telah pernah membencinya. Dan yang diberikannya itu adalah yang paling baik dari yang tinggal untuk dirinya sendiri atau keturunannya.

2. Tingkah laku serta semangat.

a. Selalu mengalah dan tidak mau mengadakan keributan walapun dia mampu melawan.

b. Tidak mau menonjolkan kekuatannya walaupun dia sanggup berhadapan dengan lawannya.

c. Selalu menunjukkan kemampuannya dengan perbuatan bukan dengan perkataan.

d. Selalu menghormati yang lebih tinggi maupun lebih rendah dari dia baik dari umur maupun dari adat istiadat.

e. Patuh kepada tata cara atau tatakrama yang sah.

f. Memiliki semangat yang tinggi.

3. Hal-hal yang perlu dikembangkan adalah lokasi Huta—Batu tahap demi tahap. Karena lokasi tersebut tidak tertutup hanya untuk tempat Makam ibarat kuburan orang yang tidak dapat dikembangkan karena hanya sebagai tempat kuburan saja. Namun lokasi Huta-Batu lain dari pada yang lain karena dapat dikembangkan sebagai Objek Pariwisata ataupun Objek lain untuk generasi mendatang sebagai sumber pendapatan.

Demikianlah buku sejarah Raja Tunggal – Hasugian yang disusun secara singkat dan harapan agar makin meningkatkan semangat berjuang demi kejayaan. Keluarga Besar Hasugian maupun Bangsa dan Negara. Kiranya dari buku kecil ini dapat diambil nilai yang paling besar untuk meningkatkan cinta kasih sesama keluarga Hasugian maupun sesama keluarga lain.


Thanks Bwt:

Maringan Hasugian (http://maringanhasugian.multiply.com/)

0 komentar:

Posting Komentar

Penulis mohon tidak untuk menggunakan kata-kata kasar ataupun kotor